Bilamana Presiden dan Wakil Presiden melakukan tindak pelanggaran berat maka tugasnya akan digantikan sementara oleh?

Dari Wikisource bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Halaman ini tervalidasi


Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. ∗∗∗)


Pasal 8

  1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. ∗∗∗)
  2. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat­-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. ∗∗∗)
  3. Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama­sama. Selambat-­lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya. ∗∗∗∗)


Pasal 9

  1. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-­sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

    Sumpah Presiden (Wakil Presiden):


     “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik­-baiknya dan seadil­-adilnya, memegang teguh Undang-­Undang Dasar dan menjalankan segala undang­-undang dan peraturannya dengan selurus­-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.”

Keterangan:

∗) Perubahan Pertama
∗∗) Perubahan Kedua
∗∗∗) Perubahan Ketiga
∗∗∗∗) Perubahan Keempat

Bilamana Presiden dan Wakil Presiden melakukan tindak pelanggaran berat maka tugasnya akan digantikan sementara oleh?

Pemberhentian Presiden

Berkaitan dengan pertanyaan pertama Anda, Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 7A UUD 1945 merupakan bagian dari proses pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya secara konstitusional. Namun demikian, kedua pasal tersebut juga harus dibaca secara komprehensif dengan pasal-pasal lain di dalam konstitusi.

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]

Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (“MK”) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[2]

Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[3]

MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.[4]

MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.[5]

Dengan demikian, selain melibatkan MPR, proses pemberhentian Presiden juga melibatkan DPR dan MK.

Triumvirat Menteri Pengganti Presiden

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.[6]

Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.[7]

Berkaitan dengan pertanyaan kedua Anda, untuk mengetahui mengapa triumvirat menteri tersebut (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan) yang berwenang melaksanakan tugas kepresidenan apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, ada perlunya kita meninjau sejarah perumusan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Hal ini diuraikan dalam buku Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – Buku IV: Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid I.

Dalam buku tersebut (hal. 577), diuraikan bahwa Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan sejak semula telah menyetujui pengalihan kekuasaan sementara kepada ketiga menteri tersebut apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi saya langsung mengenai Pasal 8. Jadi dalam Ayat (3), jadi dalam rangka kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersama-sama. Jadi saya berpendapat, prinsipnya bahwa inikan sebenarnya kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu tentunya, yang menjalankan juga eksekutif. Karena kalau ini diserahkan kepada DPR atau DPD, yang mereka sebenarnya fungsi pengawasan, saya kira di sini akan berhenti fungsi pengawasannya, karena di sini eksekutif dengan legislatif akan jadi satu. Akan tetapi sebenarnya bahwa kaitannya dengan triumvirate ini, jadi alternatif satu, untuk menghindari kekhawatiran bahwa seolah-olah yang mewakili harus yang dipilih rakyat yaitu Ketua DPR dan Ketua DPD, kalau nanti DPD ada.

Oleh karena itu perlu bahwa setidaknya tiga menteri ini memang pada waktu pengangkatan perlu ada pertimbangan DPR. Jadi, itu untuk mengimbangi bahwa kita kembali ke triumvirate, kan hanya pertimbangan saja.

Hal yang sama diuraikan Katin Subyantoro dari Fraksi PDI Perjuangan (hal. 579 – 580) yang mengusulkan agar Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama memegang jabatan sebagai Pejabat Sementara Presiden. Katin mengatakan:

Mengenai ketentuan berkenaan dengan, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Dalam hal ini Fraksi PDI Perjuangan berpendapat, yang melaksanakan tugas keperesidenan tetap dari lingkungan eksekutif, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Dengan demikian, alasan di balik rumusan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 adalah untuk menjaga agar kekuasaan pemerintahan tetap berada di lingkungan eksekutif, sekalipun terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Referensi:

Tim Penyusun. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – Buku IV: Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

[2] Pasal 7B ayat (1) UUD 1945

[3] Pasal 7B ayat (2) dan (3) UUD 1945

[4] Pasal 7B ayat (4) dan (5) UUD 1945

[5] Pasal 7B ayat (6) dan (7) UUD 1945

[6] Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUD 1945

[7] Pasal 8 ayat (3) UUD 1945